Tiga Nama Besar di Jakarta; Blusukan Heritage Traveller

Saya dan rekan Heritage Traveller saya, Rex El Kusuma, mengunjungi area Museum Bahari
dan Menara Syahbandar yang berada di Jakarta Utara. Bagi saya pribadi ini bukan
kedatangan yang pertama kali ke tempat yang berada tidak jauh dari area utama
Wisata Kota Tua Jakarta yang berada di sebelah selatan.


Datang ke Museum Bahari

Hari Sabtu, 21 April 2018 yang lalu, saya tiba seorang diri di area Museum Bahari dan Menara Syahbandar, Jakarta Utara. Dari Pamulang (Tangerang Selatan) menuju ke lokasi saya menggunakan sepeda motor. Sebenarnya bukan pertama kali saya datang ke sana. Pertama kali saya datang di bulan Mei 2017 lalu dan kemudian sesekali menyempatkan diri untuk kembali berkunjung.

Sambil menunggu teman Heritage Traveller saya yaitu Rex El Kusuma yang datang menyusul dari tempat kerjanya di RS Pantai Indah Kapuk, saya pun memilih menunggu sambil mengobrol sebentar dengan petugas penjaga yang ada di dekat Menara Syahbandar. Sengaja saya dan Rex memilih datang lebih pagi untuk menghindari teriknya sinar matahari meski kenyataannya nanti tetap terkena juga. Suasananya tidak banyak berubah kecuali penampakan area Museum Bahari yang masih utuh dengan sisa kebakaran beberapa waktu yang lalu.


 Menara Syahbandar yang terletak di dekat Museum Bahari. Foto diambil pada saat saya baru tiba.

Museum Bahari di tahun ini. Sebagian areanya rusak akibat kebakaran beberapa waktu lalu.









Beberapa foto yang saya dan Rex ambil, memperlihatkan sebagian kecil penampakan area museum
yang sudah sangat familiar bagi saya semenjak kedatangan pertama di bulan Mei 2017 lalu.


Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Rex datang dengan mobil. Setelah parkir, kami berdua berjalan ke museum. Begitu mendapat tiket masuk (tentunya setelah membayar), saya dan Rex mulai menyusuri setiap bagian dalam museum sambil bercerita kronologi dari setiap koleksi. Ada banyak koleksi kebahariaan dari masa ke masa dan semua yang berhubungan dengan itu disimpan di museum tersebut. Dari masa ke masa, dunia bahari menorehkan semua kekayaan laut, perseteruan di lautan hingga kegiatan positif untuk kemajuan hidup umat manusia.

Sayang sekali, karena kebakaran yang merusak sebagian area museum membuat kami tidak leluasa menjelajahi setiap ruangan. Padahal sebelumnya, saya bisa menjelajahi ruangan lain seperti legenda lautan, aneka peralatan di kapal, replika dugong, hingga memasuki ruangan khusus Pertempuran Laut Jawa dan Pertempuran Selat Sunda yang terjadi di tahun 1942. Saya berharap semoga Museum Bahari kembali tegak seperti dulu, dan semua koleksi yang rusak mendapatkan pengganti baru untuk melanjutkan pengenalan ilmu pengetahuan tentang museum dan sejarah kepada masyarakat yang datang berkunjung.

Serdadu VOC menyerbu dan membumihanguskan Jayakarta, 1619.

 Kota Batavia di era 1760-an yang digambar oleh Johannes Rach.

Sketsa sederhana kota Jayakarta di tahun 1619.


Tiga Nama Besar

Di tempat inilah, di mana kami menginjakkan kaki, sebuah bandar terkenal di Tatar Sunda pernah eksis. Orang mengenalnya sebagai Sunda Kalapa. Bandar terpenting bagi Kerajaan Pajajaran ini pernah berjaya ratusan tahun yang lalu, dengan berbagai kegiatan perdagangan di dalamnya. Para saudagar dari berbagai penjuru Nusantara beserta para saudagar asing seperti Arab, India, dan Tionghoa berkumpul untuk bertransaksi berbagai jenis komoditas perdagangan yang diperlukan. Pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Sunda Kalapa menjadi perhatian manakala orang-orang Portugis datang dan menjalin kerjasama dengan Kerajaan Pajajaran. Nama-nama seperti Tome Pires yang berpetualang dan De Alfin Sang Navigator pun muncul menghiasi kronologi hubungan Pajajaran-Portugis.

Kemajuan ini menimbulkan kecemasan Demak yang hadir sebagai kekuatan Islam di Jawa. Serangan Fatahillah ke Sunda Kalapa menjadi "kiamat" bagi Pajajaran karena tidak ada lagi pemasukan ekonomi yang sangat besar untuk kelangsungan kehidupan kerajaan dari Tatar Sunda tersebut. Sangat disayangkan jika kemudian berkembang tudingan bahwa Kerajaan Pajajaran mengundang penjajahan orang Eropa. Padahal yang dilakukan Pajajaran adalah melakukan hubungan bilateral. Berbagai tudingan kotor itu tidak perlu diikuti karena semuanya sama sekali tidak memiliki landasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Jayakarta pun hadir sebagai "wujud" baru dari tempat yang pernah menyangga nama Sunda Kalapa. Segera setelah bandar penting itu jatuh, nama Jayakarta pun disematkan, menggantikan Sunda Kalapa yang selama ini lekat dengan pikiran masyarakat setepat pada masa itu. Masjid, alun-alun, pasar, distrik Kiai Aria dan lainnya dibangun di dalamnya. Dari Jayakarta pula, selain Bantam, Kesultanan Banten yang kemudian menjadi penguasa mendapat berbagai pemasukan yang menguntungkan. Kehidupan berjalan normal seperti biasa. Orang-orang Portugis yang sempat berseteru beberapa waktu sebelumnya pun datang dan lebih jauh lagi berdagang lada dengan orang-orang Banten. Para pedagang internasional lainnya tetap datang dan pergi untuk berdagang dan menarik untung dari kegiatan mereka. Di bawah amanah Pangeran Jayakarta, tempat itu menjadi salah satu urat nadi ekonomi rakyat Kesultanan Banten.

Orang-orang VOC dan Inggris kemudian hadir di Jayakarta, membangkitkan aroma persaingan yang begitu kuat di antara keduanya. Dengan loji dagang masing-masing yang saling "bertatap muka", kedua belah pihak bersikeras mempertahankan apa yang mereka inginkan. Seorang Jan Pieterszoon Coen mengubah segalanya di kemudian hari. Orang-orang Banten dan Inggris tersingkir dari persaingan di Jayakarta. Kota itu kemudian diserbu dan dibakar. Di atasnya, Batavia kemudian dibangun. Kemunculan nama “Batavia” sendiri muncul dengan cara yang aneh, di mana seorang serdadu mabuk menyebut-nyebut nama suku bangsa yang mendiami Sungai Rhein di Eropa tersebut, sementara Coen menghendaki nama “Nieuw Hoorn” untuk kota baru yang baru saja berdiri itu. Pada kenyataannya, nama “Batavia” itulah yang kemudian digunakan dan tetap diingat hingga masa kini.

Batavia pun tumbuh menjadi kota penting. Orang-orang Prancis, Swiss, dan berbagai penjuru Eropa lainnya berdatangan sebagai tentara bayaran, saudagar yang berniat mencari keberuntungan, hingga berbagai profesi lainnya. Kota berjuluk Ratu dari Timur itu menjadi tersohor. Kesultanan Banten dan Mataram yang tengah berseteru mencoba menaklukkan Batavia namun gagal. Dari kota tua di area tepi Sungai Ciliwung itulah, VOC mulai melebarkan pengaruh dan kegiatan ekonominya.




Pemandangan yang kami lihat dari atas Menara Syahbandar, memperlihatkan area Museum Bahari dan sekitarnya. Di tempat ini Sunda Kalapa, Jayakarta, dan Batavia pernah berjaya.









Spot "terabaikan" yang berada tidak jauh dari sebelah kiri area Museum Bahari.











Lokasi yang sama di bulan Mei 2017 saat saya dan rekan-rekan dari
KPBMI (Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia)
mengadakan penelusuran sisa kejayaan Batavia.


Ya, tiga nama besar itu pernah hadir di tempat yang kita kenal sebagai Jakarta. Tiga nama besar yang memiliki makna tersendiri bagi yang mau memahami dari sudut pandang mana mereka menginginkannya. Di sesi akhir penelusuran, saya mengajak Rex ke tempat lain yang juga saya kunjungi di bulan Mei 2017 untuk melihat-lihat. Tempat yang dimaksud adalah sisa-sisa reruntuhan bangunan dan tembok yang berada tidak jauh dari Museum Bahari, tepatnya di sisi kiri. Kegiatan Heritage Traveller kemudian ditutup dengan naik ke atas Menara Syahbandar dan menikmati pemandangan area sekitar sambil bercerita sedikit kisah dari tempat yang kami datangi hari itu.

Komentar

  1. i was read your Blog and nice to read and knows who you are...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Insan Permuseuman Ingin "Mengeluh" Tentang Program MBG (Makan Bergizi Gratis)

Tonggak Sejarah Nusantara dari Pedalaman Mahakam

Tentang Fajar