Dokumentasi Cagar Budaya (Drs. Marsis Sutopo, M.Si)
Koleksi Film Selluloid BKB
Keberadaan dokumen yang terkait dengan perjalanan hidup
bangsa, seperti dokumentasi sejarah, terutama sejarah yang tertuang dalam
bentuk tulisan mempunyai arti yang sangat penting. Untuk perbaikan di masa
depan dibutuhkan rekonstruksi sejarah berdasarkan dokumen-dokumen dari masa
lalu itu. Dokumen yang terkait sejarah suatu bangsa sangat penting dan
strategis untuk menangani masa depan bangsa bersangkutan.
Paling tidak, hal itu bisa digunakan sebagai referensi dalam
pembuatan perencanaan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dokumen berfungsi pula untuk memperpanjang ingatan bangsa, baik menyangkut
pelaksanaan kegiatan, peraturan, atau pelaku sejarah. Jika tak punya
pembanding, kita akan selalu bergerak dari awal lagi dan terbuka kemungkinan
melakukan kesalahan serupa terus-menerus. Bukannya terus maju ke depan. Dokumen
bersejarah penting pula untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Dokumentasi Cagar Budaya merupakan salah satu bagian yang
penting dari dokumen yang terkait dengan perjalanan bangsa Indonesia, melalui
tinggalan Cagar Budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang bangsa dan akan
diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Kegiatan Dokumentasi Cagar Budaya
juga menjadi salah satu bagian pekerjaan pelestarian terhadap Cagar Budaya yang
tidak dapat diabaikan. Dengan adanya dokumentasi yang baik maka data tentang
Cagar Budaya dapat selalu dilestarikan dan dimanfaatkan, meskipun benda
fisiknya sudah hilang atau musnah. Namun karena masih tersimpan dokumen yang
lengkap, misalnya dalam bentuk deskripsi, gambar, foto, atau film maka data
tentang Cagar Budaya tersebut masih dapat dimanfaatkan. Untuk itulah maka
kegiatan dokumentasi menjadi salah satu kegiatan yang penting dalam pelestarian
Cagar Budaya.
Negative Kaca
Dalam Pasal 37 UURI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
dinyatakan bahwa:
1.
Pemerintah membentuk sistem Register
Nasional Cagar Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya;
2.
Benda, bangunan, struktur, lokasi,
dan satuan ruang geografis yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya harus
dicatat di dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa:
Koleksi museum yang
memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya dicatat di dalam Register Nasional Cagar
Budaya.
Dalam Pasal 39 dinyatakan bahwa:
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi
tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data
yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa:
1.
Pengelolaan Register Nasional Cagar
Budaya yang datanya berasal dari instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
luar negeri menjadi tanggung jawab Menteri;
2.
Pengelolaan Register Nasional Cagar
Budaya di daerah sesuai dengan tingkatannya menjadi tanggungjawab pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
3.
Pemerintah melakukan pengawasan dan
pembinaan terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah
provinsi;
4.
Pemerintah provinsi melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola
pleh pemerintah kabupaten/kota.
Dari empat pasal UU Cagar Budaya tersebut di atas jelas
menunjukkan bahwa inti dari pasal-pasal tersebut mengamanatkan dilakukannya
Dokumentasi Cagar Budaya. Data tentang Cagar Budaya harus dicatat, dikelola
sebagai Register Nasional, dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Jika dicermati lebih lanjut Dokumentasi Cagar Budaya seperti
yang diamanatkan pada empat pasal di atas menunjukkan pekerjaan besar yang
lingkupnya nasional, memerlukan sistem yang holistic dan terpadu, memerlukan
sarana dan prasarana yang lengkap, serta ketersediaan SDM yang professional. Bahkan membutuhkan perencanaan yang matang dan cermat, dari tahap penyusun
perencanaan, pengumpulan data lapangan, pemilahan, dan penyajian sebagai data
yang dapat diakses oleh masyarakat.
Dalam Pasal 53 Ayat (4) dinyatakan bahwa:
Pelestarian Cagar
Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan
yang data menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.
Mencermati pasal tersebut secara tegas mengamanatkan bahwa
kegiatan pendokumentasian terhadap Cagar Budaya mutlak dilakukan untuk
mendukung kegiatan pelestarian.
Kegiatan pendokumentasian Cagar Budaya sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari kegiatan pelestarian selanjutnya menggunakan peralatan
fotografi. Sesuai dengan perkembangan teknologi fotografi, khususnya bentuk
filmnya, dalam pendokumentasian Cagar Budaya dikenal jenis-jenis dokumentasi
Cagar Budaya, yaitu:
a. Film
Kaca
Film
kaca adalah film yang paling awal dari teknologi fotografi. Dokumentasi Candi
Borobudur yang pertama kali dilakukan oleh Kasijan Chepas menggunakan film
kaca. Sampai sekarang film kaca tersebut tersimpan baik di Balai Konservasi
Borobudur dan masih dapat dicetak di atas kertas.
b. Film
Celluloce (BW and colour)
Film
celloluce yang pertama kali dikenal sebagai pengganti film kaca belum berbentuk
gulungan, tapi masih terpisah satu per satu seperti film kaca. Dalam
perkembangannya kemudian film celloluce BW (black white) berbentuk gulungan
yang umumnya satu roll terdiri dari 36 frame film. Dalam perkembangannya
kemudian menyusul film colour sehingga dapat merekam benda sesuai dengan warna
aslinya jika dicetak di atas kertas film.
c. Film
Slide
Film
slide adalah film positif, artinya gambar yang langsung direkam di permukaan
film. Film ini langsung dapat dilihat dengan menggunakan slide proyektor yang
dipantulkan ke layar. Jika akan dicetak justru harus direpro ke dalam film
negatif.
d. Film
Digital
Perkembangan
terakhir dari jenis film fotografi adalah film digital, baik dalam bentuk CD
(Compact Disk) maupun kartu chip yang berukuran kecil, namun memiliki kapasitas
dalam ukuran Giga, sehingga dapat menyimpan ribuan gambar berukuran normal.
Keterangan:
Ini adalah sub pembahasan dari tulisan Drs. Marsis Sutopo,
M.Si berjudul “Pendokumentasian Cagar Budaya”, dalam buku MEREKAM JEJAK MASA
LALU; CAGAR BUDAYA DALAM PERSPEKTIF 3D. Diterbitkan oleh Balai Konservasi
Borobudur, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar