Nasi Untuk Serdadu di Hindia Timur

Para serdadu KNIL di geladak sebuah kapal, 1910
(Tropenmuseum)

Umumnya, ketika mendengar kisah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia banyak dari kita membayangkan pasukan kolonial makan enak dengan roti, keju, susu dan makanan Eropa lainnya. Namun, ternyata semua itu tidak selalu menjadi santapan sehari-hari. Sama halnya dengan penduduk sipil Eropa yang menikmati aneka sajian lengkap Rijstaffel, mereka yang menjadi tentara juga merasakan makanan yang kurang lebih sama. Nasi juga menjadi menu yang dinikmati setiap hari.


Ketika menginjakkan kaki untuk kali pertama di tanah Hindia Timur (atau yang lebih kita kenal sebagai Hindia Belanda; Indonesia kini), para serdadu KNIL yang didatangkan langsung dari Belanda sudah dipastikan tidak akan diistimewakan. Hal ini juga berlaku pada makanan. Kebutuhan pada roti memang masih bisa dipenuhi, namun mereka menyantapnya sebagai menu sarapan di barak maupun di lapangan. Olahan kuliner lokal akan menjadi menu makan siang. Biasanya terdiri dari nasi, sup hangat (sop) dan daging menjadi santapan sehari-hari. Bagi yang menyukai makanan pedas selalu tersedia sambal. Namun, lebih banyak yang ketiban apes; rasa pedas yang membakar mulut dan lidah mereka. Kenyataannya, meski menarik sambal adalah sesuatu yang baru bagi mereka.

Seorang serdadu Belanda sedang membeli makanan dari wanita lokal
(Marcel Jack)

Edouard Errembault dari Perancis dalam memoarnya yang berjumlah lebih dari dua ratus halaman menceritakan pengalamannya ketika menjadi perwira di Hindia Belanda. Saat itu Perang Diponegoro masih berkecamuk. Dalam perjalanannya dari Batavia menuju Yogyakarta dia sempat mampir di sebuah benteng yang berlokasi di Ungaran. Disebutkan adanya kebutuhan akan anggur (minuman), roti, beras, kopi dan gula untuk para serdadu yang bertugas di dalamnya.

Seorang serdadu anonim asal Amsterdam yang pernah berdinas sebagai opsir rendah KNIL di Batavia menceritakan pengalamannya pada H.C.C.C. Brousson dalam surat yang dikirimkannya:

“Di Hindia Belanda, kami mendapatkan makanan hangat dua kali perhari. Menu antara jam 11 dan 12 siang terdiri dari sup lezat, serta sambal dan daging. Saya masih ingat bagaimana Overdijk yang berasal dari Friesland mengira sambal merah itu harus dicampur ke dalam sop. Akibatnya ia menghabiskan satu ketel air penuh. Lada Spanyol itu nyaris membakar mulutnya. Untunglah, masih ada persediaan sup di dapur. Tapi berkat Overdijk kami jadi tahu bahwa sambal dimakan secukupnya dengan nasi, sup, serta daging.”

Di Perang Aceh, nasi tetap menjadi salah satu menu utama. Meski mendapatkan roti, keju dan lainnya untuk sarapan pagi, pada siang hari mereka kembali bertemu dengan menu nasi, sup dan daging. Terkadang para serdadu juga menyantap gado-gado. Sisanya menjelang malam mereka menyantap kacang-kacangan, gandum dan semacamnya:

“... bangun pagi pukul setengah enam sarapan pagi dengan roti dan keju, pukul sepuluh hidangan sup dengan nasi dan sambal siapa yang suka, pukul setengah enam makan malam dengan kacang, erces dan ganduman. Ada dilakukan percobaan dengan makanan yang diawetkan, ‘makanan rakyat’ kalengan (segera juga menjadi nama julukan pecahan granat yang kira-kira sama bentuknya) makanan gado-gado segala macam. Dari Australia datang daging kering, yang juga tidak begitu enak rasanya....”



Sumber:
  • “Batavia Awal Abad 20: Gedenkschriften Van Een Oud Koloniaal”, oleh H.C.C. Clockener Brousson. Diterjemahkan oleh Achmad Sunjayadi, diterbitkan oleh Masup Jakarta (cetakan ketiga), 2017.
  • “Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje” dengan judul asli “De Atjehoorlog”, oleh Erven Paul van ‘t Veer. Diterbitkan oleh Uitgeverij De Arbeiderspers/Wetenschappelijke Uitgeverij, 1979. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Grafiti Pers (cetakan pertama), 1985.
  • “KNIL: Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis”, oleh Jean Rocher dan Iwan Ong (Iwan Santosa). Diterbitkan oleh Kompas Gramedia (cetakan pertama), 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Insan Permuseuman Ingin "Mengeluh" Tentang Program MBG (Makan Bergizi Gratis)

Tonggak Sejarah Nusantara dari Pedalaman Mahakam

Tentang Fajar