Menapak Tilas Sejarah Perjalanan PETA di Hari Pahlawan
Tanggal 10 November selalu
diperingati sebagai Hari Pahlawan sekaligus terjadinya Pertempuran Surabaya
antara pasukan dan laskar Republik Indonesia yang masih belia menghadapi
serangan tentara Sekutu. Spirit mereka tetap hidup dan menjadi benih
penyemangat generasi muda dalam berkarya. Berkarya, maksudnya melakukan dan
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat dalam rangka mengisi kemerdekaan
yang telah didapat. Hal itu juga dilakukan oleh kami yang berada di KPBMI
(Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia). Untuk mengisi Hari Pahlawan di tanggal 10 November 2018 ini dengan hal yang bermanfaat, bersama komunitas lainnya, kami melakukan
perjalanan “Tapak Tilas: Sejarah Perjalanan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)”
yang dimulai dari Munasprok (Museum Perumusan Naskah Proklamasi) menuju Monumen
dan Museum Pembela Tanah Air di mana kegiatan berlangsung.
Titik kumpul peserta tapak tilas di Munasprok, Jakarta Pusat (dokumentasi pribadi)
Saya bersama rekan-rekan di KPBMI
Perjalanan dengan
dua bus dimulai pada pukul 08:00 WIB setelah semua peserta berkumpul di sana. Sesampainya di museum (sekitar
pukul 10 lewat) yang berada dalam satu area dengan Pusdikzi (Pusat Pendidikan
Zeni) TNI AD tersebut, kami disajikan aksi teatrikal penghormatan militer ala
pasukan PETA yang ternyata sudah dipersiapkan sejak beberapa waktu sebelumnya.
Setelah itu kami semua dikumpulkan dan Kapten Inf Hendra Firdaus (beliau adalah
Kepala Monumen dan Museum PETA) memberi sambutan langsung pada rombongan kami.
Kegiatan pun dimulai dengan tur di dalam museum dengan membagi rombongan
menjadi dua kelompok. Pemandu museum mulai mengenalkan kami dengan berbagai
diorama yang menceritakan kronologi berdirinya PETA, perjalanannya, hingga
kemerdekaan Indonesia dan meleburnya ke dalam BKR/TKR yang nantinya menjadi
TNI. Tidak lupa juga kami dipersilakan melihat berbagai jenis senjata buatan
Jepang, Jerman, hingga Inggris yang menjadi koleksi museum. Seragam para
perwira dan prajurit PETA juga diperlihatkan kepada para pegunjung beserta
kepagkatan dan barang-barang peninggalan dari beberapa perwira tersebut.
Kapten Inf Hendra Firdaus menyambut rombongan secara langsung (dokumentasi pribadi)
Bagian tertua sejak era VOC yang dibangun di tahun 1745
sekaligus bangunan yang kini menjadi Museum PETA (dokumentasi pribadi)
Selesai berkeliling di area
museum, para peserta menempati aula untuk mengikuti dialog seputar perjuangan
bangsa dan menonton film propaganda orisinil di zaman pendudukan Jepang tentang
pelatihan militer PETA. Proses menuju kemerdekaan yang berubah sedikit berat
dengan kehadiran Dai Nippon di Kepulauan Nusantara dimanfaatkan dengan baik
oleh para tokoh nasional untuk menciptakan berbagai kesatuan bersenjata
bentukan Jepang. Dan PETA adalah salah satu yang terkenal dan turut berperan
dalam perjuangan bangsa. Pelatihan dan propaganda yang dilancarkan Jepang pun
dapat digunakan dengan sebaik mungkin oleh para pemuda yang bergabung.
Seiring dengan perkembangan
waktu, Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Kekalahan tersebut memacu cepatnya
pergerakan pemuda dan para tokoh untuk segera menyatakan kemerdekaan. Aksi
pelucutan senjata turut mewarnai proses pemindahan kekuasaan, karena di
kemudian hari pasukan Sekutu tiba dan Belanda kembali untuk meneruskan
penjajahannya. Kontribusi para mantan personil PETA terus berlanjut dalam
perang memertahankan kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan di bulan Desember
1949.
Kegiatan selesai sekitar pukul
15:30 WIB. Para peserta rombongan selanjutnya kembali ke Jakarta dengan titik
kumpul yang sama yakni Munasprok.
Dari kegiatan yang saya ikuti
ini, ada satu kesimpulan pribadi yang saya dapatkan. Dalam memahami sejarah
perjalanan PETA, dapat disimpulkan bahwa kehadiran pasukan tersebut menjadi
salah satu pijakan awal kekuatan militer Indonesia, di samping eksistensi para
mantan personil KNIL. Doktrin cinta tanah air yang ditanamkan dalam pendidikan
pasukan PETA pun menjadi unsur penting yang mampu mendongkrak keinginan kuat
untuk merdeka sebagai bangsa yang berdaulat. Dan, gedung museum yang sudah
berdiri sejak tahun 1745 itu adalah saksi bisu yang “menyaksikan” para perwira
PETA dididik dan ditempa menjadi figure pemimpin yang kuat dan disegani.
Di bawah ini adalah dokumentasi dari saya pribadi dan rekan-rekan saya:
1. Mengikuti pemandu museum sambil mengamati diorama dan koleksi yang ada
2. Selesai menyimak dialog sejarah
3. Selagi sempat, berfoto bersama
Jadi ingin menangis klo ingat perjuangan pahlawan. Bisa dibayangkan klo tiada mereka, hari ini kita tak mungkin bisa rasa manisnya pendidikan.
BalasHapus