Kembali Ke Alam Bersama MUNASAIN Kota Bogor



Manusia selalu memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam. Seiring dengan perkembangan zaman ia pun menjadi bagian dari keanekaragaman kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia dengan ciri khas masing-masing. Dalam kegiatan Night At The Museum kali ini, MUNASAIN (Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia) Kota Bogor mengajak para peserta untuk kembali pada alam. Bukan hanya sekadar memberikan gambaran tindakan untuk kebaikan namun juga memberikan penyegaran kembali akan pemahaman mengenai alam Indonesia.
Derasnya hujan yang mengguyur kota Bogor pada malam itu tidak menyurutkan niat peserta untuk datang ke kegiatan tersebut. Sebagai ‘teman’ acara, camilan dan minuman tradisional khas Sunda seperti bajigur, comro, dodongkal, kue ali (kue cincin) dan jagung rebus disajikan untuk para peserta yang kemudian diakhiri dengan menyantap nasi kuning bersama-sama dalam penutupannya. Dan karena berlokasi di salah satu kota terkenal di Jawa Barat, memahami alam sesuai kultur dan kosmologis masyarakat Sunda diperkenalkan kepada para peserta. Empat pembahasan menarik saya rangkum seperti di bawah ini.


 

Dayang Sumbi, Samida, dan Pembagian Ruang

Masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan alam. Kedekatan ini ‘terabadikan’ dalam cerita-cerita lokal yang sesungguhnya mencerminkan keseimbangan norma-norma kehidupan. Salah satunya terdapat dalam cerita Dayang Sumbi. Di mana di dalamnya Dayang Sumbi merupakan personifikasi dari bumi, Situmang si anjing penjaga sebagai siloka dari aturan-aturan yang menjaga keseimbangannya, kemudian Sangkuriang yang merupakan personifikasi dari manusia.

Di masa kerajaan-kerajaan Sunda berdiri ada banyak aturan dan kebijakan yang dilakukan dengan memerhatikan keharmonisan bersama alam. Pemisahan sungai Gomati dan Chandrabaga atas perintah Purnawarman dari Tarumanagara untuk kepentingan pertanian masyarakat kala itu dan larangan membangun pemukiman di rawa-rawa. Memilih lahan pertanian pun dilakukan dengan selektif. Lalu ada hutan Samida dibuat dan dilestarikan oleh Kerajaan Pajajaran. Lokasinya yang ternyata strategis membuat seorang Gustaaf Wilhelm Baron van Imhoff terpikat dan membangun tempat peristrahatan. Hal ini pun mendorong pihak kolonial Belanda untuk konsisten melakukan penelitian dan ‘membangkitkan kembali’ hutan tersebut hingga menjadi seperti yang kita kenal sekarang sebagai Kebun Raya Bogor.
Keharmonisan hidup masyarakat Sunda alam di masa kini dapat kita lihat dari pemukiman Baduy di Banten dan Kampung Naga di Tasikmalaya. Cara mereka memandang alam tentu sangat berbeda dengan orang-orang yang hidup di kota-kota. Mereka juga membagi ruang lingkungan menjadi bagian-bagian seperti leuweung titipan, leuweung larangan dan lainnya. Jenis-jenis tanaman dan pohon yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi disatukan dalam area kebun talun. Hingga saat ini keserasian dengan alam oleh mereka masih terjaga dengan rapi.



Camilan atau Jajanan dan Lalaban Segar

Kebiasaan memilih makanan pun mencerminkan kedekatan masyarakat Sunda dengan alam. Aneka camilan atau jajanan tradisional semisal dodongkal, ancemon dan kue ali yang masih dapat dijumpai dengan mudah. Kehadiran kuliner modern dengan banyak inovasi tidak lantas membuat eksistensi jajanan tradisional tadi terancam, meski ada juga yang saat ini sulit untuk ditemukan. Terlebih jika disadari kue-kue tradisional dari berbagai daerah yang berbeda satu sama lain memiliki ciri khas masing-masing. Kehadiran camilan atau jajanan tradisional tersebut juga ada dalam upacara adat.
Soal makanan yang lebih ‘berat’, orang Sunda dikenal menyukai lalaban segar. Dalam kaitannya dengan kebudayaan Sunda, konsumsi lalaban adalah bukti betapa harmonisnya manusia Sunda dengan alam. Ada 65% jenis makanan Sunda yang berasal dari tumbuh-tumbuhan menurut pakar ITB di tahun 2001.
Lalu apa saja di antara 65% makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tersebut? Ada leunca, balostrok, tespong, selada air (dalam versi lokal sebutannya adalah kenci, jembak, gajembak), antanan, antanan leutik, teu endog dan jaat (dibaca ja’at). Dari sekian nama-nama tumbuhan tersebut selama ini hanya leunca dan selada air saja yang familier bagi saya. Manfaat dari semuanya pun tidak main-main dan sangat besar, contohnya leunca yang memiliki khasiat merawat kulit, antanan yang sangat populer sebagai ramuan sari rapat atau pasca melahirkan, lalu ada jaat yang mampu menyehatkan tulang dan gigi.

Bagaimana Kehidupan Dimulai Lagi?

Ketika sebuah gunung api meletus, kehidupan baru akan muncul kembali. Sifat destruktif gunung api yang tampak menyeramkan justru meninggalkan sesuatu yang bermanfaat. Benih-benih makhluk hidup berupa kecambah tanaman maupun hewan-hewan kecil akan membentuk ulang wilayah yang sempat rusak oleh aliran lahar atau awan panas.

Salah satu contoh nyata adalah letusan Gunung Krakatau di tahun 1883 yang dampaknya luar biasa bagi peradaban manusia. Segera setelah bencana tersebut berakhir, gunung besar itu pun runtuh dan menyisakan jejak-jejak kengerian di wilayah-wilayah sekitarnya. Beberapa waktu kemudian kehidupan baru kembali hadir. Rekolonisasi awal hunian Krakatau datang dari Sumatera dan sebagian Jawa dalam jarak 40 km. Dan satu penghuni rekolonisasi paling pertama dalam catatan sejarah adalah seekor laba-laba. Kelompok spora dan tumbuhan yang terbawa angin menyusul kemudian. Biji-biji tumbuhan pantai yang tidak ikut musnah kemudian tumbuh, mengisi bagian pesisirnya. Kehidupan Krakatau yang sempat musnah itu akhirnya kembali.

Keelokan alamnya pun menjadi daya tarik bagi wisatawan. Seringkali ada penelitian maupun kunjungan wisata ke wilayah anak gunung Krakatau. Mereka mengeksplorasi tutupan hijau yang kembali mengisi alam Krakatau dan seakan menghapuskan jejak masa lalu ketika gunung api tersebut menunjukkan kekuatannya. Meski begitu Krakatau tetap mengulang periode penghancuran dan pembangunan alamnya kembali. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya sebuah kaldera pada bekas kepundan, yang sebelumnya tidak pernah ada.
Semua materi lengkap dapat diunduh di sini.


















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Insan Permuseuman Ingin "Mengeluh" Tentang Program MBG (Makan Bergizi Gratis)

Tonggak Sejarah Nusantara dari Pedalaman Mahakam

Tentang Fajar