Temu MuGaleMon di Monumen Nasional: Eksistensi Monumen Nasional dan Wajah Baru Jakarta
Monumen Nasional dipilih mejadi tempat terlaksananya
pertemuan rutin Mugalemon (Museum-Galeri-Monumen) di tanggal 15 Juli 2019. Kali
ini Nunus Supardi (budayawan), Yuke Adhiati (arsitek) dan Esti Utami (kepala UP
Museum Seni, yang mewakili Kadisparbud DKI Jakarta) menjadi pembicara dengan
tiga tema berbeda yakni Irisan Perjalanan
58 Tahun Monumen Nasional, Arsitektur
Monumen Nasional, dan Wajah Baru
Jakarta. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Muhammad Sartono alias Abang
Ahmad (Pendiri komunitas Sahabat Budaya Indonesia) dan Djulianto Susantio
(Pembina KPBMI) serta beberapa perwakilan dari museum yang ada di seluruh DKI
Jakarta.
Nunus Supardi menyampaikan pemaparannya
Eksistensi 58 Tahun
Monumen Nasional
Pada kesempatannya sebagai pembicara pertama Nunus Supardi
membawakan banyak cerita tentang irisan perjalanan Monumen Nasional yang sudah
eksis selama 58 tahun. Monumen Nasional yang semula bernama Tugu Nasional ternyata
digagas oleh Sarwoko Martokoesoemo, seorang manusia biasa dan bukan tokoh yang
terkenal pada masanya. Pada tahun 1954 ide pembangunan disampaikan kepada Bung
Karno dan disetujui. Setahun berikutnya ide Sarwoko direalisasikan dengan
dibentuknya Panitia Tugu Nsional di mana dia menjadi ketuanya. Modelnya pun
disayembarakan, dan dimenangi oleh Ir. F. Silaban.
Dalam perkembangannya Tugu Nasional diganti menjadi Monumen
Nasional pada tahun 1959. Kehadiran Taman Hiburan dan Pekan Raya Jakarta Fair
di tahun 1969 di sana sayangnya sempat membuat pamor Monas “meredup” karena
kalah oleh “gemerlap” keramaian. Monas pun kembali pada jatidirinya setelah
Kemayoran ditetapkan sebagai rumah baru bagi Jakarta Fair hingga sekarang. Pada
tahun 1995 diterbitkanlah Keppres No. 25 tentang Kawasan Medan Merdeka yang
justru kembali “meredupkan” nama besar Monumen Nasional.
Dalam pidato acara penyerahan hadiah pemenang sayembara
rencana Tugu Nasional (27 Juni 1960), Bung Karno mengatakan:
“Buatlah rakyat itu
menghormati pahlawan-pahlawannya yang telah gugur…
Bangsa yang besar
adalah bangsa yang bisa menghormati pahlawan-pahlawannya…
Buatlah rakyat…
jiwanya, hatinya,
rohnya, kalbunya menjulang tinggi ke langit laksana Tugu Nasional sekarang…
Bahkan sepuluh kali,
seratus kali, seribu kali tingginya…
Kita punya kehendak…
Kita punya cita-cita…
Kita punya tekad untuk
meneruskan revolusi ini.”
Bung Karno menginginkan bahwa Tugu Nasional mencerminkan
rakyat Indonesia, yang dalam pandangan beliau adalah tugu tersebut benar-benar
sebuah tugu yang melambangkan revolusi, kepribadian, dinamika dan cita-cita
Indonesia. Melambangkan api yang berkobar dalam dada. Beliau juga menginginkan
agar tugu ini bertahan sampai seribu tahun, menggambarkan bangsa yang sedang
bergerak.
Tidak hanya tugu, di bawahnya pun dibangun sebuah museum
sejarah. Beliau menghendaki agar museum tersebut dikunjungi baik oleh
masyarakat Indonesia maupun mereka yang bukan warga negara Indonesia dan mampu
membuat mereka tertegun, hingga ketika mereka nanti menginjakkan kaki ke luar
yang keluar dari lisan mereka adalah “Yes, the Indonesian people are great people.
Yes, the Indonesian people are becoming a great peole again.” (pidato
pelantikan Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional, 1964).
Sedemikian besar perhatian dan pencurahan waktu beliau untuk
pembangunan Tugu Nasional, F. Silaban pernah memprotes dan menanyakan mengapa
beliau lebih mementingkannya ketimbang pembangunannya Masjid Istiqlal. Bung
Karno menjawab bahwa masjid tersebut sudah pasti akan tetap dibangun, namun
beliau mencemaskan pembangunan Tugu Nasional tidak akan terus dilanjutkan
seandainya dia sudah berpulang ke sisi Tuhan.
Di akhir pemaparan Supardi menambahkan bahwa perlu diadakan
sebuah forum untuk bertemu dan dialog antarmonumen lalu membentuk wadah yang
menjadi ajang persahabatan. Tentunya sebagai bangunan cagar budaya, pengembangan
Monas pun harus berpijak kepada UU No. 10 /2011 tentang Cagar Budaya dan UU No.
5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dan diperlukan juga kehadiran sebuah
prasasti yang menjelaskan bahwa Ir. Soekarno sebagai “Pembawa Ide Arsitektur
Monumen Nasional”, Ir. Soedarsono sebagai “Arsitek Pelaksana Tugu
Nasional”(disampaikan Umar Wirahadikusumah) dan Sarwoko Martokoesoemo sebagai
“Penggagas Tugu Nasional” (disampaikan Sudiro).
Yuke Adhiati menceritakan "Drama" Tugu Nasional
“Drama” Tugu Nasional
Di sesi kedua, Yuke Adhiati menyampaikan dengan arsitektur
Monumen Nasional dapat diungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) babak drama di Tugu
Nasional yang menjadi “lambang” perjalanan bangsa Indonesia.
Seolah menyampaikan Prolog, penampilan Tugu Nasional dari
luar adalah pengagungan laki-laki dan perempuan yang dilambangkan dengan Lingga
dan Yoni. Dan Tugu Nasional mewakilinya, dari model cawan dan menara.
Memasuki babak kesatu kita akan bertemu dengan patung realis
Pangeran Diponegoro, yang mengungkap konsep kelaki-lakian. Seanjutnya ita
melalui Transisi 1 melewati terowongan bawah tanah yang berkorelasi dengan
suasana kaum Bumiputera.
Babak kedua di terowongan bawah tanah adalah manifestasi
kegelapan di masa kolonial dan penjajahan, berkorelasi dengan teks “Indonesia
Menggugat” yang pernah dibacakan Ir. Soekarno di hadapan pengadilan kolonial di
Bandung. Bersambung ke Transisi 2, keluar dari terowongan kita akan
“dikejutkan” dengan luasnya cawan.
Babak ketiga adalah ruangan besar berisi 48 diorama di Museum
Sejarah Kebangsaan. Berkorelasi dengan pembacaan naskah sandiwara Tonil di Ende
dan Bengkulu. Berlanjut menuju Transisi 3 dengan menaiki tangga ke Ruang
Kemerdekaan. Korelasinya dengan lahirnya Pancasila dan menuju Indonesia
Merdeka.
Babak keempat adalah peristiwa proklamasi dan atribut
kemerdekaan, yang berkorelasi dengan hari sakral 17 Agustus 1945. Berlanjut ke
Transisi 4 dengan menapaki tangga kemajuan bangsa Indonesia.
Babak kelima adalah modernitas bangsa Indonesia, dinamis, ke
arah atas menuju puncak menara.
Babak keenam melihat panorama ibukota Negara.
Babak ketujuh merasakan pengalaman di kaki langit, di bawah
naungan kobaran api kemerdekaan, berbatas angkasa bebas.
Terakhir menemui Epilog, menuruni Tugu Nasional dengan
kenangan.
Kesimpulan yang dapat saya ambil di sini adalah Tugu Nasional
merupakan representasi cerita tentang bagaimana manusia lahir dan
memperjuangkan kemerdekaannya. Melewati masa-masa sulit yang penuh rintangan,
melewati sempitnya keadaan di mana kita belum terbebaskan dari kekuasaan
kolonialis dalam waktu yang sangat lama. Perlahan usaha untuk membebaskan diri
menjadi bangsa yang merdeka mulai tampak. Hingga akhirnya kita sebagai bangsa
Indonesia bisa dengan senang dan semangat menatap kebebasan yang telah kita
temukan. Dan menjadikan semuanya sebagai kenangan dan pelajaran.
Esti Utami memaparkan Wajah Baru Jakarta
Wajah Baru Jakarta
Terakhir, Esti Utami menyampaikan bahwa bicara tentang Wajah
Baru Jakarta, adalah bicara tentang menghadirkan keadilan, kedaulatan dalam
setiap kebijakan, jadi memang bukan sekadar merayakan keberagaman yang memang
sudah menjadi keniscayaan di Indonesia khususnya Jakarta sebagai ibukota
Republik Indonesia. Karena itulah Pemprov DKI Jakarta ingin memastikan Jakarta
sebagai kota yang lestari, kota yang memberikan kebahagiaan untuk generasi
sekarang dan yang akan datang.
Wajah Baru Jakarta tidak hanya bersifat permukaan atau
mengedepankan pembangunan fisik saja. Namun di balik semua yang dicapai ada
gagasan, ada pesan penting dan ada tujuan yang ingin dicapai. Wajah Baru
Jakarta juga harus diwujudkan dengan mengubah cara berpikir, paradigma, cara
bekerja sekaligus pola interaksi.
Semua pihak berperan dalam mewujudkan Wajah Baru Jakarta.
Karena itu pemprov DKI Jakarta mengajak segenap lapisan masyarakat untuk
berpartisipasi, mewujudkan Jakarta yang indah, lestari dan ramah bagi semua
orang.
Kini kita bisa melihatnya melalui contoh seperti MRT (Moda
Raya Terpadu), JPO (Jembatan Penyeberangan Orang), Terowongan Jalan Kendal,
trotoar, Kali Besar dan Lapangan Banteng. Dengan tampilan artistik dan
kekinian, ramah bahkan untuk disabilitas, tempat yang instagramable, lebar dan nyaman dilalui orang hingga menjadi
fasilitas olahraga yang menyenangkan. Tentunya Wajah Baru Jakarta yang modern
ini tidak akan melupakan akar budaya leluhur. Perubahan-perubahan inilah yang
akan mengantarkan pada tujuan yang ingin dicapai, maju kotanya dan bahagia
warganya.
Temu MuGaleMon di Monumen Nasional diakhiri dengan makan siang bersama, berlanjut dengan kunjungan para peserta ke puncak menara secara bergantian.
Foto Dokumentasi
Pasti sangat menyenangkan sekali ya bertemu para peminat sejarah ditempat yang bersejarah. Salam hangat pak.
BalasHapusSalam hangat kembali Mas Pungkas. Iya... ini acara rutin bulanan Asosiasi Museum Indonesia wilayah DKI Jakarta. Saya kurang tahu apa daerah Mas pihak AMI di sana juga ada pertemuan seperti ini atau nggak hehehe
Hapus